Kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak yang terus meningkat menjadi salah satu alasan yang mendorong Komisi VIII DPR RI mengebut pembahasan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS).
Pemahaman keagamaan sejak dini harus diperkuat untuk mengurangi tingginya tingkat kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak di Jawa Timur. Sebab, salah satu penyebab kekerasan seksual adalah salah pergaulan.
Kebebasan penggunaan gadget dapat menjadi salah satu penyebab terjadinya kekerasan seksual terhadap anak dan perempuan. Banyak anak remaja usia belasan tahun (SMP/SMA) yang dengan mudah mengakses media sosial atau situs tertentu.
Pengesahan RUU PKS ini diharapkan menjadi jalan keluar terbaik dari masalah kekerasan seksual yang terjadi.
Munculnya RUU PKS bermula karena banyak masukan kepada anggota DPR terutama di Komisi VIII menyangkut kegelisahan masyarakat tentang kekerasan seksual yang sulit melakukan pembuktian di pengadilan.
RUU PKS dan KUHP diharapkan bisa saling melengkapi. Sehingga, dapat memberi kepastian hukum terhadap korban tindak kekerasan dan pelecehan seksual.
Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) dan RKUHP dinilai dapat berpotensi tabrakan atau tumpang tindih. Sebab, dalam RKHUP sendiri telah diatur secara umum dalam berbagai perspektif.
Aliansi Indonesia Cinta Keluarga (AILA) konsisten menolak Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS) karena memuat pasal bermasalah dan kontroversial
Terkait RUU PKS, Wakil Ketua Umum MUI Zainut Tauhid gembira atas ditundanya pengesahan RUU tersebut. Menurut dia, keputusan DPR tersebut merupakan keputusan yang bijak.
Dalam Rapat Koordinasi antar Baleg dengan Komisi-Komisi di DPR terkait evaluasi terhadap pelaksanaan Prolegnas 2020 pada Selasa 30/06, Komisi VIII DPR RI menyatakan mengeluarkan RUU PKS dari Prolegnas 2020.